Oleh: Sketsa Ultra Pelangi*
Pemanasan
global menjadi isu lingkungan signifikan dewasa ini. Diakibatkan
akumulasi gas rumah kaca, meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil
(minyak, batubara dan gas) dan berbagai kegiatan pembangunan yang tidak
bersifat berkelanjutan. Berdampak pada peningkatan pemanasan suhu bumi.
Apalagi di perparah dengan konversi ruang terbuka hijau menjadi lahan
terbangun, lalu keberadaan bangunan-bangunan
di perkotaan yang terkenal arogan, jauh dari ramah lingkungan, serta
boros energi karena rata-rata bangunan di perkotaan menggunakan mesin
pendingin ruangan di tiap ruangannya.
Perlu langkah-langkah antisipatif untuk menghindarinya. Sehingga kota yang mampu merespon dampak dari perubahan iklim tersebut dapat memberi efek keberlanjutan bagi masa depan kota. Karena mewujudkan kota yang responsif terhadap Global Warming merupakan bagian dari cita-cita pembangunan yang berkelanjutan.
Perencanaan
dan desain kota akan memainkan peranan penting di dalam mewujudkan kota
yang berkelanjutan. Karena kota adalah garda terdepan dalam usaha
mengurangi dampak
perubahan iklim, karena sebagian besar dampak nyata dari pembangunan
adalah di kota, dan kota adalah daerah yang akan paling merasakan dampak
dari peningkatan suhu akibat Global Warming.
Dengan adanya Global Warming ini hendaknya kota perlu mendapat solusi rencana dan desain kota yang responsif. Salah satunya dengan menggali dan bercermin dari kekuatan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa ini.
Pendekatan Kearifan Lokal
Kearifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat,
berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya
berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal
telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi
dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya (Antariksa:2009).
Setiap kota atau daerah di Indonesia memiliki banyak konsep kearifan lokal yang sebenarnya masih relevan untuk di
adopsi dalam konteks kekinian. Seperti pada permukiman suku Bajau yang
terkenal dengan suhunya yang ekstrem diatas permukaan laut dengan
limpahan matahari berlebih. Menyesuaikan diri dengan iklim panas tersebut melalui teknologi bangunan hunian yang sederhana tapi adaptif terhadap kenyamanan termal. Sama halnya dengan bangunan tradisional pada Kampung Naga yang selain responsif terhadap gempa, juga responsif terhadap iklim. Jika di adopsi teknologi bangunan tersebut dalam konteks kekinian yang lebih modern dapat menjadi alternatif solusi
teknologi bangunan yang adaptif terhadap perubahan iklim serta ramah
lingkungan. Juga perihal menurunkan suhu di perkotaan melalui keberadaan ruang terbuka hijau yang stabil dapat di contohkan oleh Kampung Naga yang mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau di sekitar kampungnya baik itu dalam wujud hutan lindung maupun kebun garapan warga. Bahkan dalam hal transportasi
alternatif ramah lingkungan pun kita dapat mengadopsi konsep kendaraan
tradisional yang kita miliki seperti becak. Dan hal ini ternyata sudah
di lakukan di negara Jepang yang juga mengadopsi konsep becak sebagai
kendaraan alternatif yang ramah lingkungan dan merespon perubahan iklim,
diamana tidak mengeluarkan emisi yang dapat memperparah suhu atmosfer
kita.
Untuk menuju kota yang responsif terhadap perubahan iklim bukanlah hal sulit jika kita mau menyadari potensi kearifan
lokal yang kita miliki. Bahkan masih banyak konsep-konsep kearifan
lokal lainnya yang perlu di gali selain yang sempat saya singgung diatas
untuk mewujudkan kota yang benar-benar merespon perubahan iklim serta
ramah lingkungan.
* Mahasiswa Fakultas Teknik
Jurusan Perencanaan Wialyah dan Kota
Referensi Kepustakaan:
Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. antariksaarticle.blogspot.com . [26 Maret 2010]
Budihardjo & Hardjohubojo. 1993. Kota berwawasan Lingkungan. Bandung. Penerbit: Alumni
Frick heinz & Mulyani TH. 2006. Arsitektur Ekologis. Semarang: Penerbit Kanisius
Gut, Paul dan Ackerknecht, Dieter. 1993. Climate responsive building. SKAT (St. Gallen, Switzerland)
Kompas.com. 2009. Kampung Naga Percontohan Sertifikasi Arsitektur Hemat Energi. http://travel.kompas.com/read. [04 Mei 2010]
Subkojepang. 2009. Becak. subpokjepang.wordpress.com akses [10 Mei 2010]
____
diikutkan pada lomba artikel : www.iatmi-cirebon.org
-
copyright sketsa ultra pelangi May 27, '10 duniasketsa.multiply.com
2 komentar:
ninggalkan jejak nih,,
bagus tulisannya. Bahasanya keren. Jurusan Planologi yak.
kirain jurusan arsitek.
itu tulisan waktu masih kuliah di plano skr sedang mendalami konservasi arsitektur . makasih udah mampir^^
Posting Komentar