Cinta selalu di visualisasikan dengan warna pink cerah, penuh harapan, optimisme, keceriaan, dan gairah hidup. Cerita cinta harusnya berakhir bahagia seperti dongeng putri salju, cinderela, dan kisah Pangeran dan putri lainnya. Makanya jika ada orang bertanya cerita cintamu berwarna apa?
Aku Jawab: Putih Pucat
Apa karena cintaku suci? Makanya memilih warna putih?
Bukan!.
Karena cerita cintaku berakhir dengan warna putih. Tak ada warna lain selain putih. Dan sekeras apapun aku ingin merubahnya, hasilnya tetap putih. Kosong. Sesak dan menyesakkan. Bahkan menangis pun tidak bisa merubah warna putih itu.
***
Untukmu
Dariku
Surat ini tolong di baca.
Sabtu di bulan Mei
Pertama kali melihat namamu ada dalam daftar yang akan di tes seleksi PMDK. Hanya barisan nama yang bernomor. saat itu namamu tidak begitu berarti. Tidak untuk saat itu. Mungkin nanti.
Selasa di bulan Juni
Tes seleksi PMDK, aku tidak tahu apa jurusanmu. Tapi yang pasti kita satu fakultas. Aku memilih fakultas ini karena ku tahu fakultas ini hanya butuh mahasiswa yang rajin dan pekerja keras ,bukan mahasiswa yang banyak omong tapi penuh omong kosong.
Kita di tes pada ruangan yang sama. Aku tes membuat gambar Sketsa pada kertas putih secara manual, dan kau membuat disain grafis pada laptop. Tidak ada suara, tidak ada tegur sapa. Kita berdua adalah dua orang asing yang tidak mau saling tahu.
Senin di bulan Juli
Daftar ulang mahasiswa baru, kita di pertemukan pada antrian yang sama. Ada kesalahan pada pengisian formulir milikmu.
“Punya Tipex?,” itu kata yang pertama kali yang kau ucapkan padaku.
Kusodorkan Tipex milikku yang akhirnya tidak pernah kembali, karena aku tidak pernah meminta dan kau tidak pernah mengingat untuk mengembalikan. Mungkin sudah hilang, aku pun tidak tahu. Kalau belum hilang, simpan saja.
Senin di bulan Agustus
Ospek mahasiswa baru di fakultas teknik begitu keras. Aku berkali-kali menangis diam-diam di toilet. Apa aku memang tidak pantas jadi mahasiswa?. Senior-senior itu tanpa perasaan mengomeli dan berbicara keras di telingaku.
“Heh?! Kenapa diam saja?! Kamu tuli? Ayo jawab, kamu bisu ya?!”
Ya kan? Kasar banget ngomongnya. Kalau kau? Apa yang akan kau lakukan?.
Aku diam bukan karena aku tidak punya pemikiran untuk di utarakan. Tapi karena ... ah sudahlah, mungkin begitu cara para senior mencari kesenangan. Jadi biarkan saja.
Hanya karena kau berlari dengan para mahasiswa baru lainnya dengan wajah teduh di sana, aku pun bisa menghentikan kecengenganku. Berusaha menjadi kuat.
Selasa di bulan Oktober
Seminar itu ku datangi, seminar untuk memotivasi jiwaku yang didominasi pesimisitas menjijikkan.
Kebetulan yang menyenangkan, tiap kali seminar, kau disana. Izinkan aku melihatmu. Aku tidak berharap kau menyadarinya. Yeah sepertinya aku mengerti ada yang tidak beres dengan perasaanku. Perasaan yang hangat.
Kamis di bulan Oktober
Ini tidak boleh terjadi, karena aku akan mengharapkan hujan di gurun sahara. Mengharapkan dirimu adalah harapan kosong, tapi entah kenapa hari-hariku diliputi rasa optimis jika memikirkanmu dan memikirkan surat-surat yang suatu saat mungkin dapat kuserahkan padamu. Jadi izinkan aku untuk memiliki rasa ini.
Jika suatu hari nanti aku bisa menyapamu untuk sekedar menanyakan apa kau ingat aku?. Apa kau akan bersikap sinis padaku seperti yang lainnya?.
Januari Awal
Kau terlihat di lantai dua rektorat universitas, apa kau juga sedang mengurus beasiswa?. Berarti sama dong. Sebenarnya, aku ingin menyapamu, tapi aku hanya bisa tersenyum mengangguk dengan canggungnya.
Tapi alangkah terima kasihnya aku, kau membalas tersenyum. Sudah ku duga kau memang orang yang ramah.
Minggu di bulan Januari
Kau tersenyum ramah ketika kita berpapasan di Mading fakultas, tidak!. Dadaku sesak. Sudah kuduga dari awal, aku memang menyimpan perasaan padamu. Sekali lagi, apakah boleh aku memilikinya?.
Selasa di bulan januari
Kau jangan percaya dengan apa yang terjadi kemarin, gadis-gadis sengak itu memang sudah lama suka mengerjaiku. Makanya aku berang dan melempari mereka dengan sepatu fladeo milikku, biar saja biar tau rasa. Apa itu jahat?. Aku tidak suka di perlakukan seperti itu layaknya orang yang tidak normal, padahal kita kan sama-sama manusia juga. Aku berharap kau tidak berpikiran picik seperti mereka. Aku tahu kau orang yang berbeda.
kamis di bulan januari
Jadi kukatakan; aku mengagumimu, itu saja. Siapa sih aku? Tidak pantas rasanya kalau kukatakan aku mencintaimu. Rasanya terlalu radikal ya. Apalagi aku perempuan.
Kau ingat? Kita berpapasan di perpustakaan, aku melupakan nomor kode rak buku yang ku cari, dan kau membantuku untuk menemukannya. Kau benar-benar baik hati. Bagimu mungkin itu biasa, tapi aku sungguh merasa di hargai.
***
“Cie.. cie surat buat siapa tuh,” Mariska diam-diam dari belakang membaca surat yang kutulis.
Berisik, mau tau saja. Aku saja gak pernah mengurusi urusannya.
“Liat dunk” Mariska menyambar surat yang belum selesai kutulis. Aku mencoba menggapainya, dan dia mempermainkanku.
Hei kembalikan! jerit batinku.
“Ngomong apa sih kau? Yang jelas dong,” Mariska berlagak seperti orang yang sakit telinga, mengorek-ngorek kupingnya yang seolah kemasukan lalat. menyebalkan. Dia menginjak harga diriku.
Aku mengumpatinya, meminta suratku kembali. Mariska kumohon kembalikan, mataku sudah berkaca-kaca. Suaraku parau meminta. Tidakkah dia memikirkan perasaanku? Padahal kami sama-sama perempuan.
“Ngomong yang jelas dong. Wa wa wa wa wa wa ba ba ba ba ba ngomong apa sih?. Kita-kita manusia lho,” kata mariska diikuti derai tawa beberapa anak.
Aku menangis, tapi aku tidak lemah. Dan akhirnya aku melakukannya. Ku pukul wajah Mariska dengan diktat kuliah. Ouch. Terlalu keras! Jidatnya memar. Maaf Mariska, tapi kau memang menyebalkan.
***
Awal februari
Mahasiswa baru sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan kemah kerja mahasiswa di desa terpelosok. Mendirikan tenda, membantu membuat saluran irigasi, pemasangan pipa buat kebutuhan air penduduk, dan bakti masyarakat lainnya.
Terimakasih Tuhan, beruntungnya aku. Sekelompok denganmu. Kumohon. Aku ingin diperlakukan sama.
Aku sedikit shock ketika mendengar:
“Si Ani dan Fajar kan saling suka, kenapa belum jadian?”
“Nunggu moment yang tepat kali buat Fajar nembak Ani”
Mendengar itu, seluruh sendiku lemas.
Benarkah apa yang kudengar itu Fajar?
12 februari
Aku sudah putuskan untuk memberikan surat-surat ini padamu. Ini bukan ungkapan Cinta. Hanya sebuah surat yang ingin dihargai.
Aku tidak peduli kau suka pada siapa, dan siapa yang suka padamu. Aku hanya ingin kau tahu.
***
Aku harus memberikan padamu sekarang. Harus.
Aku melihat dirimu sedang sendirian memperbaiki pasak tenda. Tuhan bantu aku!. Aku pun melangkah ke arahmu. Tapi...
“Weiit.. weiit, apaan tuh yang di pegang si Kalem,” Suara Mariska lagi?. Tidakkah dia kapok dengan peristiwa kemarin?. Dia menghadang di depanku seperti mimpi buruk. Perasaanku tidak enak.
“Waduww, seperti kumpulan surat cinta gitu deeh, amplopnya Pink!. Wah mau nembak nih,” teman-teman Mariska, Tania dan Rena sudah bergabung. Kenapa sih cewek-cewek kurang kerjaan ini senang sekali mengusik hidupku.
“Hup, dapat!,”
Oh Tuhan! Tidak!. Suratku telah di rampas mereka.
Tania mulai membaca keras-keras.
“Untuk: Fajar. Ha? Fajar Siapa neeeeeeeh”
“Ada yang ngerasa namanya Fajar disini gak? Siap-siap dapat pengakuan cinta nih dari si Kalem”
Ya Tuhan ku mohon tolong aku, turunkan petir atau Air bah agar manusia-manusia didepanku ini berhenti membaca. Aku menangis memohon agar suratku di kembalikan.
Tanganku menggapai-gapai, tapi mereka pandai menghindar.
Orang-orang mulai berkerumun mendengarkan suratku di bacakan. Malu sekali. Rasanya aku ingin lenyap di telan bumi. Kenapa aku yang harus lenyap?. Harusnya kumpulan perempuan sinting yang sedang mempermalukanku ini yang harusnya lenyap.
“Fajar Harun? Atau Fajar Tukang Bakso depan sekolah?. Ha ha ha,” derai tawa sahut menyahut menderas dan bergelombang-gelombang menyakitkan telingaku dan menghantam hatiku.
Ku mohon hentikan!.
Dan? Fajar medekati kerumunan, dan mulai menjadi bagian dari kerumunan orang yang mendengarkan itu dengan tampang datar.
“Oooowh Fajar sayang, betapa beruntungnya diriku yang hina dina ini Bisa sekelompok denganmu, kalau tidak... diriku pasti sudah mati kehabisan napas. Ha ha ha ha”
Pembual!, Isi suratku bukan seperti itu. Kenapa mereka tidak mau berhenti?.
“Fajar sejak lama aku selalu memperhatikanmu, perasaanku padamu telah membuat jiwaku yang cacat menjadi normal”
“Bah , sejak kapan dia jadi anak normal. Mimpi!”
“Ha ha ha”
Semua orang ikut tertawa bagai koor paduan suara penghina yang luar biasa mengerikan. Aku heran kenapa manusia-manusia picik seperti mereka dianggap normal.
Ku mohon-mohon pada mereka, tidak di gubris. Kuambil batu besar terdekat.
Aku sadar ini tidak boleh, tapi aku marah. Ku hantam dengan batu mulut kotor perempuan-perempuan yang mempermalukan aku dan suratku itu. Mereka jatuh tersungkur dengan bibir pecah berdarah-darah. Perempuan-perempuan yang hatinya terbuat dari lumpur comberan, teganya menginjak-injak perasaanku. Mereka merangkak menjauh. Orang-orang berlarian panik, dan berteriak seolah aku hewan buas yang baru dilepas dari kandang.
Mataku melihat berkeliling, Fajar menjauh dari kerumunan. Menatapku seolah jijik dan takut. Jiwaku menangis.
Fajar ku mohon jangan salah paham.
Aku merebut suratku dan mengejar Fajar, aku berteriak memanggilnya. Tapi yang keluar,”Bwaaaaa ba wa baaaaaaaaaaaaa,”
Ya benar, aku Gagu.
Aku bukan orang yang normal berucap-ucap. Nyaris bisu. Tapi aku tidak tuli. Dan perasaanku tidak cacat. Aku punya perasaan yang normal!, lebih normal dari gerombolan perempuan yang mempermalukanku dan suratku.
Fajar malah ketakutan melihatku yang kini mengejarnya sambil melambai-lambaikan surat. Jiwaku terluka parah, batinku menangis meraung-raung.
Aku mengutuk orang-orang yang melihat kejadian hari ini, mengutuk tanah yang kupijak, semuanya kukutuk, karena mereka tidak mau membelaku!. Aku benar-benar terpuruk.
Orang-orang mulai melihatku dari sudut yang lain. Dan akupun tersudut.
***
Fajar!
Jeritanku memenuhi ruang putih pucat.
“Bwaaaaaaaa baaaaaaaaawaaaaaa!!”
Serentak rombongan orang berpakaian putih sok suci menerobos ruangan mencengkeram tangan dan kakiku dan mengikatnya pada tempat tidur. Aku meronta. Aku tidak Gila!. Memperlakukanku layaknya penghuni ruang putih pucat lainnya yang gemar berteriak.
Fajar!
“Baaaawaaaaaaaa baaaaaawaaaaaaa!!”
Ruangan ini telah memenjarakan jiwaku, merampas harapanku, dan akal sehatku. Membuatku sakit.
Surat-surat untuk Fajar masih rapi terselip di bawah kasur, jadi saksi putih.
***
Sketsa Ultra Pelangi
ruang putih november 2012
copyright sketsa ultra pelangi 5 nov, '12 duniasketsa.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar