Selasa, 19 November 2019

Kawasan Cagar Budaya Indonesia dan Masa depan Kota: Kawasan Benteng Keraton Buton

Oleh: Sketsa Ultra Pelangi

Buat yang suka menonton film-film dengan setting abad pertengahan mungkin tidak asing dengan film Elizabeth - The Golden Age, King Arthur, Robin Hood, The Other Booleyn Girl, Prince of Persia, Timeline atau yang baru-baru ini aku tonton film Eagle yang dibintangi Channing Tatum. Tapi saya ga bakal bahas soal film sih, saya senang liat film dengan setting abad pertengahan karena selain terinspirasi dari sejarah, juga setting lokasi filmnya yang apik. Bikin set dengan kondisi abad pertengahan itu kerja seni luar biasa.

Setting kota di abad pertengahan biasanya berada didalam sebuah tembok, benteng atau kastil, sedangkan permukiman di luar benteng disebut ‘desa’.  Warga desa banyak yang menjadi petani dan beternak, yang kemudian hasilnya dijual ke ‘kota’ yang berada dalam benteng. Segala fasilitas kota disediakan di balik tembok, mulai dari hiburan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dsb. Sebagian besar penduduk kota adalah para baron, bangsawan, keluarga raja, pejabat, pedagang, penjual jasa, dan sebagainya. Untuk ke kota mereka harus melewati ‘pintu gerbang’ masuk ke dalam benteng yang di jagai oleh beberapa orang pengawal dengan menunjukkan identitas atau semacamnya. Begitulah interaksi masyarakat abad pertengahan dengan ‘kota’ . Setidaknya itu yang saya lihat di film dan memang demikian kehidupan masyarakat eropa abad pertengahan. Menjadikan ‘kota’ sebagai basis pertahanan jika ada musuh menyerang atau parameter kemakmuran.


Kota di eropa abad pertengahan (sumber : google.com)

Sehingga kota-kota pada masa itu dibangun dengan konstruksi yang terbaik dimasanya, sehingga bisa tetap kuat bertahan dari gempuran kerajaan lain, juga sebagai indikator kemasyhuran kerajaan tersebut. Tidak heran jika benteng-benteng di eropa yang dibangun di abad pertengahan masih gagah berdiri hingga saat ini.



Kota benteng di Eropa yang masih bisa dinikmati saat ini (sumber: google.com)

Kota benteng ini dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan ‘Benteng Keraton Buton’ di bangun sekitar abad ke 15. Dan keberadaanya masih bisa disaksikan hingga saat ini, serta menjadi Kota Benteng terluas di dunia dengan luas wilayah ± 0,37 Km
2. yang wilayahnya keseluruhan dikelilingi oleh benteng, sesuai catatan MURI 22,8 Ha (panjang keliling 2.740 m). Serta masih di huni oleh manusia dengan jumlah jiwa 1.904. Jika kota benteng di Eropa sebagian besar telah ‘mati’ dan menjadi monumen, museum, atau obyek arkeologi dan wisata. Maka kota benteng yang satu ini masih ‘hidup’ dan dihuni penduduk dengan hunian yang secara arsitektural masih mencerminkan identitas tradisinya.


Apakah kota benteng cuma ada di eropa? Ah tidak juga, beberapa kota di Asia abad pertengahan juga menganut sistem kota benteng, seperti ‘Kota terlarang’ di Cina yang hanya di huni para raja dan turunannya. Di Indonesia juga ada, tepatnya di Kota Baubau Sulawesi Tenggara.

Kawasan Benteng Keraton Buton (Sumber : Google earth)

Benteng yang mengitari kawasan (Sumber: Penulis)



Penduduknya yang tinggal dalam benteng merupakan masyarakat asli suku Buton (miana wolio) karena mereka keturunan kaomu dan walaka (bangsawan) dalam stratifikasi masyarakat Buton semasa Kesultanan Buton. Pada masa Kesultanan Buton kawasan Benteng Keraton Buton ini merupakan ibukota kerajaan yang selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan juga sebagai permukiman, pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan dakwah (syiar) Islam. Setelah Indonesia merdeka, fungsi kekuasaannya menjadi hilang, namun kawasan ini masih mempertahankan fungsinya sebagai perkampungan tradisional sehingga budaya atau adat-istiadat di zaman kesultanan juga masih dipertahankan.

Dalam perkembangannya, Kota Baubau tersebut berkembang pesat melebihi embrio kotanya yang berada di Kelurahan Melai. Kawasan permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai dapat dikatakan sebagai representasi peradaban sejarah dan budaya bagi Kota Baubau, sehingga sisa-sisa peninggalan zaman kesultanan masih bisa ditemukan pada kawasan permukiman tersebut.

Rumah Hunian dalam kawasan Benteng (Sumber : Penulis)

Jangkar dan Makam merupakan situs bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis)
Masjid dan tiang bendera merupakan Situs Bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis)
 
Batu pelantikan Sultan Buton yang merupakan situs bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis)

Merawat Cagar Budaya , merawat masa depan kota

Cagar budaya menurut Undang-undang no.11 tahun 2010 bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 


Masih menurut Undang-undang no.11 tahun 2010 bahwa suatu kawasan dapat dikategorikan obyek cagar budaya apabila  berupa satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Kawasan Benteng Keraton Buton sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan khusus yang tertuang dalam SK Walikota Baubau No.19 Tahun 2003 Seri E no 19, dan Status Bentengnya telah ditetapkan sebagai obyek cagar budaya melalui Kepmen Kebudayaan dan pariwisata RI Nomor KM.8/PW.007/MKP-03 tentang penetapan Benteng Baadia, Benteng Keraton Buton, benteng Bangkudu, Kompleks Gua Prasejarah Muna dan Masjid Agung Keraton Buton yang berlokasi di wilayah Sulawesi Tenggara sebagai benda cagar budaya.

Kawasan Benteng Keraton Buton merupakan kota benteng di masa lalu, yang difungsikan sebagai permukiman, pusat pemerintahan, keagamaan, perdagangan, serta aktivitas budaya. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan cagar budaya yang menunjukkan adanya jejak-jejak aktivitas tersebut. Sehingga keberadaannya penting untuk menelusuri sejarah serta asal-usul kota Baubau yang berkembang dimasa sekarang.

Kota dapat diartikan sebagai artefak yang merupakan gabungan dari tapak (site), peristiwa (event), dan tanda (sign ), Rossi (1966) . Peristiwa ini dapat kita artikan sebagai rentetan sejarah yang terjadi di dalam ruang tersebut, sehingga tempat dan sejarah tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta saling mendukung.
Upaya untuk memahami kota tidak bisa dilakukan tanpa telaah sejarah, karena kota dapat dipandang sebagai organisasi hidup yang dari sudut pandang sejarah akan terlihat adanya berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dan berkembang. Kota maupun kawasan di dalamnya merupakan sejarah yang saling berkaitan satu sama lain, karena satu sejarah mempengaruhi dan menentukan yang lain, satu sejarah  memelihara dan menghidupi yang lain, serta satu sejarah melayani dan membutuhkan yang lainnya dengan merawat dan melestarikan benang sejarah.

Karena dari sinilah keberlanjutan sebuah kota itu dapat dicapai melalui monumen-monumen yang telah dibangun sebagai arsitektur kota, dengan ingatan sejarah itulah kota dapat selalu hidup, akrab dan komunikatif meskipun fungsinya ada yang berubah. Kota yang baik adalah kota yang memiliki keberlanjutan tahapan pembangunan, dengan keberlanjutan tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati. Seperti pada Kawasan Benteng Keraton yang menjadi embrio dari Kota Baubau.

Merawat Cagar Budaya

Permasalahan dan tantangan cagar budaya secara umum yang saya soroti adalah masalah masih rendahnya kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Karena saya juga masyarakat yang terkadang perlu diingatkan dan disadarkan terkait pentingnya menjaga  dan merawat obyek cagar budaya.

Kenapa obyek cagar budaya perlu dilestarikan?   Karena tempat-tempat tersebut merupakan rekaman sejarah yang penting sebagai ekspresi nyata dari identitas dan pengalaman. Sehingga bisa dinikmati oleh generasi saat ini dan akan datang (Burra Charter,1999)

Untuk kasus Kawasan Benteng Keraton sendiri, peran pemerintah sudah cukup baik dalam kegiatan perawatan kawasan. Yang menjadi tantangan kedepannya adalah terkait perubahan pola pikir masyarakat pemilik bangunan tradisional di dalam kawasan yang juga memiliki keinginan untuk merubah bentuk rumahnya seperti halnya hunian-hunian modern di luar Benteng. Hal ini kemudian disiasati dengan strategi pelestarian adaptasi yaitu upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting (UU no.11 tahun 2010). Sehingga hunian boleh berubah terbatas pada bagian yang diperlukan, sedangkan fasade dan ciri khas umum dari bangunan tetap.

Lalu apa hal yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat dalam berpartisipasi merawat cagar budaya ?
Kita bisa mulai dari hal-hal yang mudah dan sederhana seperti: 

  • Menyebarkan konten edukasi terkait cagar budaya di media yang bisa kita jangkau.
  • Mengedukasi orang terdekat, keluarga perihal cagar budaya dengan mengajak berwisata ke obyek/ kawasan Cagar Budaya di daerah masing-masing.
  • Serta tidak merusak, mengotori obyek/kawasan Cagar Budaya.

Mudah bukan?
Yuk… cagar Budaya kita Rawat atau Musnah !
Tulisan ini dalam rangka mengikuti kompetisi blog Cagar Budaya Indonesia dengan Tema: Rawat atau Musnah.




Referensi:
  1. ICOMOS. 1999. The Burra Charter. Australia ICOMOS Inc.
  2. Kamus besar bahasa Indonesia daring kbbi.kemdikbud.go.id
  3. Kepmen Kebudayaan dan pariwisata RI Nomor KM.8/PW.007/MKP-03.
  4. Pelangi, Sketsa Ultra. 2015 .Pelestarian Kawasan Yaroana Masigi Peninggalan Kesultanan               Buton Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Ruang: Jurnal Lingkungan Binaan Vol.2.No.2 : 231-252
  5. Rossi, Aldo.1966. Architecture of the city.USA:MIT Press.
  6. Surat Keputusan Walikota Bau-Bau No. 105 tahun 2003 tentang Penetapan Benteng Keraton sebagai Kawasan Khusus
  7. Undang-Undang No.11 tahun 2010.





Minggu, 10 November 2019

Akhirnya Kembali Menulis

Hampir 7 tahun saya lupa, kalau saya bisa menulis dan mampu menghasilkan tulisan. Sampai kemudian saya memenangi lomba pertama setelah 7 tahun tidak tekun menulis (hanya nulis caption status sosmed).
Dapat Juara II lomba cerpen Fantasi. Senang? iya dong.
Sebagai seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus rumah, suami, dan dua balita aktif, tanpa bantuan ART, tanpa saudara dan sanak family, diperantauan, kesibukan saya benar-benar full 24jam. Pekerjaan seolah tidak pernah selesai dan berulang bagai lingkaran. Dunia ibu rumah tangga adalah dunia yang keras. Tidak heran banyak kasus Ibu-ibu yang depresi lantaran kurang piknik dan terperangkap dalam rutinitas cadas ibu rumah tangga. Bagi yang tidak siap, silahkan bersiap😁 
Saya dulu termasuk yang kurang bersiap, sehingga suka oleng sesekali😁. 

Hingga suatu hari mata saya terbuka melihat ibu-ibu seperti saya yang bisa meluangkan waktu untuk berkarya di tengah kesibukan mengurus keluarga. Kenapa saya tidak kembali tekun menulis lagi seperti waktu single dulu? jadi ibu-ibu bukan halangan untuk berkarya. Soal waktu? bisa diluangkan kalau ada niat kuat. Namun berkali-kali niat ini gagal lantaran niatnya yang setengah-setengah. 

Lalu niat ini saya sampaikan ke suami, dan dia mau membantu. Biasanya saya luangkan waktu menulis saat tengah malam, saat semua tertidur, agar anak-anak gak ngerecokin ikut pencet-pencet laptop atau rewel minta diajak main. Lalu saat suami libur, saya manfaatkan sebaik mungkin. Anak-anak saya titip suami dulu, dan saya bisa menulis dengan leluasa sampai kelar. Lomba cerpen fantasi yang saya ikuti hingga juara itu saya kerjakan mulai pagi hingga tengah hari, dengan jumlah halaman 16. Saya kebut! karena, jarang dapat waktu kayak gini tiap hari. Jadi saya manfaatin waktu yang ada dengan sebaik mungkin.
Kalo di pressure gitu kayaknya lancar banget nulis. Jadi gak tiap saat juga saya bisa nulis lancar. Contohnya, hari ini suami libur dan handle anak-anak. Tapi jangankan  16 halaman. 1halaman pun belum rampung-rampung.

akhirnya malah nulis celotehan panjang gini.
😁

--©Sketsa Ultra Pelangi--

Pematang Siantar. 10 Nov 2019
Selamat Hari Pahlawan!

Senin, 04 November 2019

Taman Buah yang berubah

Taman Buah yang berubah

Saya sempat tinggal dua tahunan (2015-2017)  di lubuk pakam, Deli serdang. Waktu itu saya males banget kemana-mana karna minim tempat yang asyik buat sekedar berakhir pekan. Ada sih taman buah, lumayanlah buat nongkrong dan makan rujak. Saat itu tempatnya belum di kelola, tukang parkirnya banyak suka rebutan. Cuma ada tukang kebun. Toilet juga selalu di kunci,mgkn takut di kotorin. Tukang jualan masih keliling taman. Tempat bermain anak becek, dan wahananya banyak yg berkarat. 

Alhamdulillah di kasih umur panjang buat singgah bentar ke Taman buah lubuk pakam. Tamannya benar2 bnyak berubah. Lebih bagus tentunya.. Sudah di kelola pemerintah, ada petugas keamanannya, ga da parkir liar.. Ada zona bermain anak yg aman, wahananya bukan lagi besi tua yg berkarat. Indah bagus dan berwarna warni. Anak2 tidak perlu takut terjatuh dan kesakitan, karena ada rumput sintetis yg empuk untuk berguling.
Ah.. kenapa bagusnya pas saya udah pindah sih🙁



#ruangterbukahijau
#tamankota

Curcol dikit

Dulu sebelum kenal instagram , saya nulis statusnya di blog hehehe setelah dipikir-pikir emang nyaman sih nulis status di blog, apalagi u...