Kamis, 08 November 2012

Ruang kota yang politis



Oleh: Sketsa Ultra Pelangi

Pernahkah anda membayangkan ketika melintasi kawasan Ijen, anda lantas berada di masa lampau, lalu ada serombongan nona-nona belanda ataupun para bangsawan-bangsawan belanda beserta atribut ke Belandaannya. Tidakkah kita pernah berpikir, kenapa kawasan Ijen harus berada di Jalan Ijen?. Atau kenapa kita memiliki Alun-alun Tugu dan Alun-alun Jamik?. Itu karena selama ini, kita melihat ruang kota yang kita tempati semata-mata adalah ruang kota secara geometris, maka ruang kota semata-mata diposisikan sebagai latar belakang pasif yang sulit dihilangkan. Padahal setiap jengkal ruang dalam kota mewakili tiap kepentingan baik itu ekonomi, budaya, sejarah, tidak terkecuali politik.

Dalam konteks sejarah dan politik bangsa, ruang kota adalah media rekam jejak yang tidak bisa di abaikan. Pada kajian dualisme Alun-alun kota Malang pun demikian, ruang kota telah memainkan perannya sebagai media yang baik dalam merekam emosi politik yang membentuk Alun-alun Tugu dan Alun-Alun Jamik. Dimana Alun-alun Jamik merupakan alun-alun yang bentukkannya di latarbelakangi oleh sosio religi yang tujuannya untuk menampung luapan jamaah dari masjid, lalu kemudian menjadi ruang rakyat. Sedangkan Alun-alun Tugu di bentuk dengan fungsi utama kawasan yang adalah pusat simbolisme kekuatan politik kekuasaan.

Jadi sangat mungkin kalau dikatakan bahwa kawasan alun-alun kota Malang dirancang untuk kepentingan Belanda, dengan menyisakan sebagian kecil ciri-cirinya.

Terkait dengan realitas, tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan ruang Kota di Indonesia seperti saat ini merupakan hasil dari deteritorialisasi batas-batas kolonialisme Hindia-Belanda. Kawasan Ijen pun bentukkannya dapat dikatakan dilatarbelakangi oleh hal tersebut. Artinya, mau atau tidak mau serta suka atau tidak suka kita harus menerima kenyataan bahwa seperti halnya negara-negara bekas jajahan lainnya di Asia dan Afrika, ruang kota di Indonesia baik secara fisik maupun sosial adalah buah dari politik imperialisme barat. Karena ruang perkotaan memang mudah menjadi wadah penyampaian politis.

Lalu sekarang disaat warisan fisik imperialisme (bangunan, kawasan, jalan, dsb) tinggal monumen kenangan. Unsur Politis baru dalam ruang-ruang kota kemudian melanjutkan tugasnya dalam mengisi ruang-ruang kota dengan style nya sendiri. Matos, MOG, malang kota ruko misalnya. Lalu berikutnya apa?
-
copyright sketsa ultra pelangi Wednesday, January 6, 2010 duniasketsa.multiply.com 

Tidak ada komentar:

Curcol dikit

Dulu sebelum kenal instagram , saya nulis statusnya di blog hehehe setelah dipikir-pikir emang nyaman sih nulis status di blog, apalagi u...