Oleh: Sketsa Ultra Pelangi
Buat yang suka menonton film-film dengan setting abad pertengahan mungkin tidak asing dengan film Elizabeth - The Golden Age, King Arthur, Robin Hood, The Other Booleyn Girl, Prince of Persia, Timeline atau yang baru-baru ini aku tonton film Eagle yang dibintangi Channing Tatum. Tapi saya ga bakal bahas soal film sih, saya senang liat film dengan setting abad pertengahan karena selain terinspirasi dari sejarah, juga setting lokasi filmnya yang apik. Bikin set dengan kondisi abad pertengahan itu kerja seni luar biasa.
Setting kota di abad pertengahan biasanya berada didalam sebuah tembok, benteng atau kastil, sedangkan permukiman di luar benteng disebut ‘desa’. Warga desa banyak yang menjadi petani dan beternak, yang kemudian hasilnya dijual ke ‘kota’ yang berada dalam benteng. Segala fasilitas kota disediakan di balik tembok, mulai dari hiburan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dsb. Sebagian besar penduduk kota adalah para baron, bangsawan, keluarga raja, pejabat, pedagang, penjual jasa, dan sebagainya. Untuk ke kota mereka harus melewati ‘pintu gerbang’ masuk ke dalam benteng yang di jagai oleh beberapa orang pengawal dengan menunjukkan identitas atau semacamnya. Begitulah interaksi masyarakat abad pertengahan dengan ‘kota’ . Setidaknya itu yang saya lihat di film dan memang demikian kehidupan masyarakat eropa abad pertengahan. Menjadikan ‘kota’ sebagai basis pertahanan jika ada musuh menyerang atau parameter kemakmuran.
Buat yang suka menonton film-film dengan setting abad pertengahan mungkin tidak asing dengan film Elizabeth - The Golden Age, King Arthur, Robin Hood, The Other Booleyn Girl, Prince of Persia, Timeline atau yang baru-baru ini aku tonton film Eagle yang dibintangi Channing Tatum. Tapi saya ga bakal bahas soal film sih, saya senang liat film dengan setting abad pertengahan karena selain terinspirasi dari sejarah, juga setting lokasi filmnya yang apik. Bikin set dengan kondisi abad pertengahan itu kerja seni luar biasa.
Setting kota di abad pertengahan biasanya berada didalam sebuah tembok, benteng atau kastil, sedangkan permukiman di luar benteng disebut ‘desa’. Warga desa banyak yang menjadi petani dan beternak, yang kemudian hasilnya dijual ke ‘kota’ yang berada dalam benteng. Segala fasilitas kota disediakan di balik tembok, mulai dari hiburan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dsb. Sebagian besar penduduk kota adalah para baron, bangsawan, keluarga raja, pejabat, pedagang, penjual jasa, dan sebagainya. Untuk ke kota mereka harus melewati ‘pintu gerbang’ masuk ke dalam benteng yang di jagai oleh beberapa orang pengawal dengan menunjukkan identitas atau semacamnya. Begitulah interaksi masyarakat abad pertengahan dengan ‘kota’ . Setidaknya itu yang saya lihat di film dan memang demikian kehidupan masyarakat eropa abad pertengahan. Menjadikan ‘kota’ sebagai basis pertahanan jika ada musuh menyerang atau parameter kemakmuran.
Sehingga kota-kota pada masa itu dibangun
dengan konstruksi yang terbaik dimasanya, sehingga bisa tetap kuat bertahan
dari gempuran kerajaan lain, juga sebagai indikator kemasyhuran kerajaan
tersebut. Tidak heran jika benteng-benteng di eropa yang dibangun di abad
pertengahan masih gagah berdiri hingga saat ini.
Kota benteng ini dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan ‘Benteng Keraton Buton’ di bangun sekitar abad ke 15. Dan keberadaanya masih bisa disaksikan hingga saat ini, serta menjadi Kota Benteng terluas di dunia dengan luas wilayah ± 0,37 Km2. yang wilayahnya keseluruhan dikelilingi oleh benteng, sesuai catatan MURI 22,8 Ha (panjang keliling 2.740 m). Serta masih di huni oleh manusia dengan jumlah jiwa 1.904. Jika kota benteng di Eropa sebagian besar telah ‘mati’ dan menjadi monumen, museum, atau obyek arkeologi dan wisata. Maka kota benteng yang satu ini masih ‘hidup’ dan dihuni penduduk dengan hunian yang secara arsitektural masih mencerminkan identitas tradisinya.
Apakah kota benteng cuma ada di eropa? Ah tidak juga, beberapa kota di Asia abad pertengahan juga menganut sistem kota benteng, seperti ‘Kota terlarang’ di Cina yang hanya di huni para raja dan turunannya. Di Indonesia juga ada, tepatnya di Kota Baubau Sulawesi Tenggara.
Benteng yang mengitari kawasan (Sumber: Penulis) |
Penduduknya yang tinggal dalam benteng
merupakan masyarakat asli suku Buton (miana wolio) karena mereka
keturunan kaomu dan walaka (bangsawan) dalam stratifikasi masyarakat Buton
semasa Kesultanan Buton. Pada masa Kesultanan Buton kawasan Benteng
Keraton Buton ini merupakan ibukota kerajaan yang selain berfungsi sebagai
pusat pemerintahan juga sebagai permukiman, pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan
dakwah (syiar) Islam. Setelah Indonesia merdeka, fungsi kekuasaannya menjadi
hilang, namun kawasan ini masih mempertahankan fungsinya sebagai perkampungan
tradisional sehingga budaya atau adat-istiadat di zaman kesultanan juga masih
dipertahankan.
Dalam perkembangannya, Kota Baubau tersebut
berkembang pesat melebihi embrio kotanya yang berada di Kelurahan Melai.
Kawasan permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai dapat dikatakan sebagai
representasi peradaban sejarah dan budaya bagi Kota Baubau, sehingga sisa-sisa
peninggalan zaman kesultanan masih bisa ditemukan pada kawasan permukiman
tersebut.
Jangkar dan Makam merupakan situs bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis) |
Masjid dan tiang bendera merupakan Situs Bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis) |
Batu pelantikan Sultan Buton yang merupakan situs bersejarah dalam kawasan (Sumber: Penulis) |
Merawat Cagar Budaya , merawat masa depan kota
Cagar budaya menurut Undang-undang no.11 tahun 2010 bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Masih menurut Undang-undang no.11 tahun 2010 bahwa suatu kawasan dapat dikategorikan obyek cagar budaya apabila berupa satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kawasan Benteng Keraton Buton sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan khusus yang tertuang dalam SK Walikota Baubau No.19 Tahun 2003 Seri E no 19, dan Status Bentengnya telah ditetapkan sebagai obyek cagar budaya melalui Kepmen Kebudayaan dan pariwisata RI Nomor KM.8/PW.007/MKP-03 tentang penetapan Benteng Baadia, Benteng Keraton Buton, benteng Bangkudu, Kompleks Gua Prasejarah Muna dan Masjid Agung Keraton Buton yang berlokasi di wilayah Sulawesi Tenggara sebagai benda cagar budaya.
Kawasan Benteng Keraton Buton merupakan kota benteng di masa lalu, yang difungsikan sebagai permukiman, pusat pemerintahan, keagamaan, perdagangan, serta aktivitas budaya. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan cagar budaya yang menunjukkan adanya jejak-jejak aktivitas tersebut. Sehingga keberadaannya penting untuk menelusuri sejarah serta asal-usul kota Baubau yang berkembang dimasa sekarang.
Kota dapat diartikan sebagai artefak yang merupakan gabungan dari tapak (site), peristiwa (event), dan tanda (sign ), Rossi (1966) . Peristiwa ini dapat kita artikan sebagai rentetan sejarah yang terjadi di dalam ruang tersebut, sehingga tempat dan sejarah tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta saling mendukung.
Upaya untuk memahami kota tidak bisa dilakukan tanpa telaah sejarah, karena kota dapat dipandang sebagai organisasi hidup yang dari sudut pandang sejarah akan terlihat adanya berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dan berkembang. Kota maupun kawasan di dalamnya merupakan sejarah yang saling berkaitan satu sama lain, karena satu sejarah mempengaruhi dan menentukan yang lain, satu sejarah memelihara dan menghidupi yang lain, serta satu sejarah melayani dan membutuhkan yang lainnya dengan merawat dan melestarikan benang sejarah.
Karena dari sinilah keberlanjutan sebuah kota itu dapat dicapai melalui monumen-monumen yang telah dibangun sebagai arsitektur kota, dengan ingatan sejarah itulah kota dapat selalu hidup, akrab dan komunikatif meskipun fungsinya ada yang berubah. Kota yang baik adalah kota yang memiliki keberlanjutan tahapan pembangunan, dengan keberlanjutan tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati. Seperti pada Kawasan Benteng Keraton yang menjadi embrio dari Kota Baubau.
Merawat Cagar Budaya
Permasalahan dan tantangan cagar budaya secara umum yang saya soroti adalah masalah masih rendahnya kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Karena saya juga masyarakat yang terkadang perlu diingatkan dan disadarkan terkait pentingnya menjaga dan merawat obyek cagar budaya.
Kenapa obyek cagar budaya perlu dilestarikan? Karena tempat-tempat tersebut merupakan rekaman sejarah yang penting sebagai ekspresi nyata dari identitas dan pengalaman. Sehingga bisa dinikmati oleh generasi saat ini dan akan datang (Burra Charter,1999)
Untuk kasus Kawasan Benteng Keraton sendiri, peran pemerintah sudah cukup baik dalam kegiatan perawatan kawasan. Yang menjadi tantangan kedepannya adalah terkait perubahan pola pikir masyarakat pemilik bangunan tradisional di dalam kawasan yang juga memiliki keinginan untuk merubah bentuk rumahnya seperti halnya hunian-hunian modern di luar Benteng. Hal ini kemudian disiasati dengan strategi pelestarian adaptasi yaitu upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting (UU no.11 tahun 2010). Sehingga hunian boleh berubah terbatas pada bagian yang diperlukan, sedangkan fasade dan ciri khas umum dari bangunan tetap.
Lalu apa hal yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat dalam berpartisipasi merawat cagar budaya ?
Kita bisa mulai dari hal-hal yang mudah dan sederhana seperti:
- Menyebarkan konten edukasi terkait cagar budaya di media yang bisa kita jangkau.
- Mengedukasi orang terdekat, keluarga perihal cagar budaya dengan mengajak berwisata ke obyek/ kawasan Cagar Budaya di daerah masing-masing.
- Serta tidak merusak, mengotori obyek/kawasan Cagar Budaya.
Mudah bukan?
Yuk… cagar Budaya kita Rawat atau Musnah !
Tulisan ini dalam rangka mengikuti
kompetisi blog Cagar Budaya Indonesia dengan Tema: Rawat atau Musnah.
Referensi:
- ICOMOS. 1999. The Burra Charter. Australia ICOMOS Inc.
- Kamus besar bahasa Indonesia daring kbbi.kemdikbud.go.id
- Kepmen Kebudayaan dan pariwisata RI Nomor KM.8/PW.007/MKP-03.
- Pelangi, Sketsa Ultra. 2015 .Pelestarian Kawasan Yaroana Masigi Peninggalan Kesultanan Buton Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Ruang: Jurnal Lingkungan Binaan Vol.2.No.2 : 231-252
- Rossi, Aldo.1966. Architecture of the city.USA:MIT Press.
- Surat Keputusan Walikota Bau-Bau No. 105 tahun 2003 tentang Penetapan Benteng Keraton sebagai Kawasan Khusus
- Undang-Undang No.11 tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar