Setelah artikel seorang ibu membunuh anak kembarnya Tiba-tiba banyak ibu-ibu mengaku pernah /sempat depresi dan merasa berada di situasi serupa. Apakah ini ikut-ikutan atau cuma efek gunung es saja? Sebenarnya bukan 'tiba-tiba' tapi karena momennya pas dan ibu-ibu itu baru berani speak up. Setelah banyak gerakan ibu-ibu yang membuat 'pengakuan' pernah merasa depresi atau hampir depresi lantaran pressure yang diterima sebagai seorang ibu.
Selama ini mereka belum berani speak up bisa jadi lantaran slogan-slogan heroik yang terlanjur disematkan pada sosok 'ibu' yang kemudian tanpa sadar menjadi semacam 'tuntutan'halus bahwa demikianlah seharusnya. Tuntutan ibu adalah madrasah untuk anak-anaknya, menjadi istri solehah untuk suaminya, menjadi kuat, tidak boleh lemah, tidak boleh sakit, superhero,dll
Belum lagi judge dari sesama ibu-ibu yang menilai ibu lain sesuai standar 'keibuan'nya. Padahal kita lupa bahwa sosok ibu ini juga manusia dengan segala keterbatasannya. Mereka hanya menjalankan perannya semampu mampunya. Jika kemampuannya tidak bisa memenuhi ekspektasi dunia disekitarnya bukan berarti dia pantas di cela. Dia hanya perlu dikuatkan, dibesarkan hatinya, dan dipeluk.
Semoga berkenan, Maaf jika ada salah kata
Sketsa Ultra Pelangi, 30 oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar