.
“Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”
Sabtu, 24 Agustus 2013
Badai di kepalaku
.
Ada badai di kepalaku
Meja, kertas, kalender, tinta, cerita, buku, kue, permen, foto, orang tua, adik, pangeran tengil, toga, laptop.
Gambar-gambar mereka berhamburan samar di balik badai. Badai itu ada disini.
berlangsung di kepalaku.
Ada badai di kepalaku
Haruskah ku goncang kepala ini agar badainya reda, atau aku cukup tertidur saja menunggu pangeran tengil membangunkanku?
Sepertinya opsi kedua cukup manis, tapi sayangnya badai itu ada disini, di kepalaku.
Ada badai di kepalaku
kata pepetah, badai pasti berlalu.
tapi badai itu disini.
di kepalaku
Ada badai di kepalaku
Meja, kertas, kalender, tinta, cerita, buku, kue, permen, foto, orang tua, adik, pangeran tengil, toga, laptop.
Gambar-gambar mereka berhamburan samar di balik badai. Badai itu ada disini.
berlangsung di kepalaku.
Ada badai di kepalaku
Haruskah ku goncang kepala ini agar badainya reda, atau aku cukup tertidur saja menunggu pangeran tengil membangunkanku?
Sepertinya opsi kedua cukup manis, tapi sayangnya badai itu ada disini, di kepalaku.
Ada badai di kepalaku
kata pepetah, badai pasti berlalu.
tapi badai itu disini.
di kepalaku
#celotehsketsa.24.08.13
Kamis, 22 Agustus 2013
permasalahan dilematis 'pelestarian' permukiman tradisional
Pelestarian itu memang idealnya melestarikan bangunan yang sudah tidak di tinggali, soalnya tidak ada intervensi yang mendorong bangunan untuk ikut berubah seperti pemikiran pemilik.
Beda kasus dengan kampung Naga di Jawa Barat, Desa Tenganan di Bali, dan permukiman Badui di Jawa Barat, permukiman Toraja di Sulawesi Selatan, mereka menkonservasi permukimannya dari dalam, jadi para pemilik bangunan sudah punya tatanan sedemikian rupa untuk meminimalisir perubahan sekecil apapun. Dan ini selalu menyenangkan menjadi obyek wisata atau penelitian, visualnya yang kaya memanjakan mata pengunjung, memotretnya, mengabadikannya dalam video, atau menguplodnya di Socmed :3
namun di beberapa permukiman tradisional, tatanan ini bersifat longgar bahkan tidak ada, sehingga dalam satu permukiman bisa di temui 2 atau lebih hunian yang berubah lantaran dinamisnya pola berpikir penghuni. They wana change!. Sy jadi berpikir seperti apa perasaan mereka, mungkin pada titik tertentu mereka tidak mau di perlakukan layaknya barang pajangan di museum, atau menjadi tontonan pengunjung yang excited seolah mereka penghuni taman safari. yang dengan lugunya kita foto,kita rekam, lalu unggah didunia maya dan memperlihatkan betapa konservatifnya mereka, dan betapa 'unik'nya mereka.
rasa2nya kok terdengar kejam ya.
Mengakomodasi keinginan mereka juga bukan perkara mudah, pemberian insentif-disinsentif juga masih menimbulkan pertanyaan? apa itu adil? mereka juga ingin berubah dan menikmati perkembangan jaman, itu sama dengan orang tua yang maksain anaknya kuliah kedokteran sementara anaknya pengen kuliah di teknik.
wallahu alam
cuma celoteh galau saya tengah malam -_-
Beda kasus dengan kampung Naga di Jawa Barat, Desa Tenganan di Bali, dan permukiman Badui di Jawa Barat, permukiman Toraja di Sulawesi Selatan, mereka menkonservasi permukimannya dari dalam, jadi para pemilik bangunan sudah punya tatanan sedemikian rupa untuk meminimalisir perubahan sekecil apapun. Dan ini selalu menyenangkan menjadi obyek wisata atau penelitian, visualnya yang kaya memanjakan mata pengunjung, memotretnya, mengabadikannya dalam video, atau menguplodnya di Socmed :3
namun di beberapa permukiman tradisional, tatanan ini bersifat longgar bahkan tidak ada, sehingga dalam satu permukiman bisa di temui 2 atau lebih hunian yang berubah lantaran dinamisnya pola berpikir penghuni. They wana change!. Sy jadi berpikir seperti apa perasaan mereka, mungkin pada titik tertentu mereka tidak mau di perlakukan layaknya barang pajangan di museum, atau menjadi tontonan pengunjung yang excited seolah mereka penghuni taman safari. yang dengan lugunya kita foto,kita rekam, lalu unggah didunia maya dan memperlihatkan betapa konservatifnya mereka, dan betapa 'unik'nya mereka.
rasa2nya kok terdengar kejam ya.
Mengakomodasi keinginan mereka juga bukan perkara mudah, pemberian insentif-disinsentif juga masih menimbulkan pertanyaan? apa itu adil? mereka juga ingin berubah dan menikmati perkembangan jaman, itu sama dengan orang tua yang maksain anaknya kuliah kedokteran sementara anaknya pengen kuliah di teknik.
wallahu alam
cuma celoteh galau saya tengah malam -_-
Rabu, 21 Agustus 2013
permasalahan pelestarian bangunan yg masih dihuni: "kenapa saya harus mempertahankan bangunan ini?kenapa saya gak boleh berubah?saya kan ingin punya rumah yang modern juga, supaya apa?"
iya benar juga, bangunan yang masih berpenghuni, mengindikasikan mereka punya kecenderungan untuk dinamis dan berubah, apa hak melarang mereka untuk stagnan, menjadikan mereka obyek penelitian seolah mereka barang museum yang dipajang untuk memuaskan visual pengunjung. Sedangkan dunia disekitarnya telah berubah.
jika dengan penjelasan sedemikian rupa bahwa itu demi melestarikan keindahan arsitektur yang dimiliki negeri ini, itu tidak akan masuk akal bagi mereka. Dan hal ini membuat galau para peneliti yang konsern pada masalah pelestarian
#celotehgalausketsa
Senin, 19 Agustus 2013
Teknologi Atap Pada Hunian Kampung Naga
Teknologi
Atap Pada Hunian Kampung Naga
1 .
Atap
Atap adalah penutup atas suatu bangunan
yang melindungi bagian dalam bangunan dari hujan
maupun salju.
Bentuk atap ada yang datar dan ada yang miring, walaupun datar harus dipikirkan
untuk mengalirkan air agar bisa jatuh. Bahan untuk atap bermacam-macam, di
antaranya: genting (keramik, beton), seng bergelombang, asbes, maupun semen
cor. Adapula atap genteng metal yang sangat ringan,
tahan lama, anti karat dan tahan gempa.
Atap juga bagaian paling atas dari suatu bangunan, yang
melilndungi gedung dan penghuninya secara fisik maupun metafisik
(mikrokosmos/makrokosmos). Permasalahan atap tergantung pada luasnya ruang yang
harus dilindungi, bentuk dan konstruksi yang dipilih, dan lapisan penutupnya.
Di daerah tropis atapn merupakan salah
satu bagian terpenting.
1.1. Elemen atap
Gambar
: Elemen atap
2. Lokasi Kampung Naga
Kampung Naga terletak
di lembah perbukitan Salawu yang di kelilingi oleh hutan dan di lewati oleh
aliran sungan Ciwulan merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh Kampung ini
dari segi pemilihan letak kawasan.
Kawasan yang letaknya
berada di cekungan perbukitan Salawu dengan luas kampung 1.5 Ha dan luas
wilayah Adat 4 Ha. Dengan Elevasi
sekitar 600m dpl. Topografi area kampung berbukit cukup curam. Kepadatan tanah
relatif stabil, kondisi tanah subur (purwanto,et all.2003).
Gambar: Pola
Permukiman pada Kampung Naga yang mengelompok
|
Kampung
Naga dikeliling sekaligus dibatasi oleh batas alam, yaitu Sungai Ciwulan,
Balong- balong, lereng bukit, dan sawah. Semua bangunan memiliki bumbungan atap
yang memanjang ke arah barat-timur, dengan pintu di bagian panjang bangunan,
yaitu sisi utara-selatan sehingga secara keseluruhan orientasi atap ini membuat
kampung seolah-olah menghadap kea rah timur. Arah hadap ini merupaka usaha
untuk menghindarkan diri dari sinar matahari langsung.
Di
lereng bukit sebelah barat permukiman terdapat kompleks pemakaman yang
menempati area tersendiri, yang terdiri, yang terdiri dari makam leluhur yang
dikeramatkan, daerah makam orang dewasa dan daerah makam anak-anak. Area ini
berada diluar area kandang jaga. Didalam kandang jaga terdapat pemukiman yang
dikelilingi anyaman bamboo dua lapis. Selain itu didalam kandang jaga juga
terdapat bekas langgar yang merupakan area yang dikeramatkan. Deretan rumah
penduduk kampung naga rapat satu sama lain sehingga tercipta lorong-lorong
sempit sebagai jalur sirkulasi antar deretan rumah. Kontras dengan lorong
sempit ini, didepan masjid dan bale patemon terdapat sebuah ruang terbuka yang
cukup luas tepat berhadapan dengan pintu masuk kampung.
Ruang
terbuka ini digunakan sebagai tempat kegiatan ritual kampung dan kegiatan
lainnya seperti menjemur padi hasil panen. Area lain diluar kandang jaga adalah
area kotor, yaitu area yang berhubungan dengan air dan memiliki sifat basah.
Area ini menempati sisi timur pemukiman. Di dalamnya terdapat sawah, kumpulan
balong (tempat memelihara ikan, berupa genangan air di dalam lubang yang
digali), saung lisung (bangunan kecil yang terbuat dari kayu tanpa dinding
untuk tempat menumbuk padi, terletak diatas balong), serta jamban (tempat
membuang hajat, letaknya diatas balong).
Sebagian
lahan kampung naga mempunyai kemiringan yang cukup curam sehingga rawan
longsor. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengkedan batu menjadi cara
untuk menghadapi kondisi tersebut
3. Atap pada hunian Kampung Naga
Bentuk
: Berbentuk pelana disebut suhunan
panjang atau suhunan julang ngapak. Berbentuk
sulah nyandah dengan penutup atap berupa dauneurih yaitu sebangsa ilalang, atau
daun tepus yang lalu ditutupi oleh ijuk. Memiliki tanduk,
berfungsi untuk menyalurkan air sehingga tidak merembes ke dalam para (langit-langit rumah)
berfungsi untuk menyalurkan air sehingga tidak merembes ke dalam para (langit-langit rumah)
Material dan warna : Terdiri
dari dua lapis, lapis pertama menggunkan daun alang-alang dan lapis kedua
terbuat dari ijuk/pohon aren. Bahan
ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap.
Masyarakat
Naga percaya bahwa mempergunakan atap genteng adalah tabu. Selain itu,
penggunaan ijuk jauh lebih awet daripada genteng. Ijuk bersifat ringan namun sesuai dengan fungsinya. Atap
bangunan terbuat dari dua lapis, yaitu lapis pertama berasal dari daun
alang-alang dan lapis kedua (terluar) terbuat dari ijuk/pohon aren. Lapisan ini
dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin, selain menyerap
asap kompor saat memasak.
Warna
yang di gunakan menggunakan
warna alam pada material atap ijuk.
Bentuk atap hunian Kampung Naga |
Atap dari jerami/alang-alang dijadikan sebagian atap bagian dalam (lapis pertama) atap |
Proses pemasangan atap (bagian
dalam berupa jerami dan bagian luar dari ijuk
|
Konstriksi pada atap kampung Naga
|
Sambungan
pada atap tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pengikat berupa tali rotan
untk menyambung bagian-bagian pada atap.
Teknologi
bangunan yang digunakan pada hunian Kampung Naga sangat sustainable dan green.
Jadi, Tidak harus bahwa green building itu harus hi tech dan mahal.
Buktinya, rumah-rumah adat di Kampung Naga. Ini bisa membuka mata dunia bahwa
Indonesia punya warisan bangunan hijau. Hal ini tidak lepas dari prinsip
kearifan lokal yang dimiliki oleh Kampung Naga, membuktikan bahwa kearifan
lokal masih relevan dengan kondisi kekinian.
Referensi:
Aziz,Azwan.2009.Pengaruh
Material. Universitas Indonesia
Discoverindonesia.net.
Garumpai House system of Kampung Naga. http://discoverindonesia.net/2010/04/garumpai-house-system-of-kampung-naga [27/05/2013]
Kompas.com. 2009. Kampung Naga Percontohan Sertifikasi
Arsitektur Hemat Energi. http://travel.kompas.com/read. [24/05/2010]
Kompas.com. 2009. Kampung Naga Tahan gempa hingga 10 SR. http://travel.kompas.com/read. [20/05/2013]
Redaksi
Butaru. 2009. “Kampung Naga” Masyarakat Adat yang menjaga pelestarian
lingkungan. http://bulletin.penataanruang.net [20/05/2013]
Purwanto,et
all.2003.Praktek pengelolaan sumber daya lahan dan hutan masyarakat
tradisional Kampung Naga. Jurnal Pengelolaan DAS.Vol IX: 1-19
Langganan:
Postingan (Atom)
Curcol dikit
Dulu sebelum kenal instagram , saya nulis statusnya di blog hehehe setelah dipikir-pikir emang nyaman sih nulis status di blog, apalagi u...
-
Teknologi Atap Pada Hunian Kampung Naga 1 . Atap Atap adalah penutup atas suatu bangunan yang melindungi bagian dalam bang...
-
oseng mangga asam manis Judulnya Galery masakan (uhuk ._.) rasanya gak pede sumpah! soalnya rasanya ga njamin, cz manusia yang nyoba ...
-
hai hai hai ada tulisan @sketsapelangi di buku ini ini buku antologinya sketsa taun 2014. kumpulan curhatan galau dengan nominator...