Kamis, 22 Agustus 2013

permasalahan dilematis 'pelestarian' permukiman tradisional

Pelestarian itu memang idealnya melestarikan bangunan yang sudah tidak di tinggali, soalnya tidak ada intervensi yang mendorong bangunan untuk ikut berubah seperti pemikiran pemilik.

Beda kasus  dengan kampung Naga di Jawa Barat, Desa Tenganan di Bali, dan permukiman Badui di Jawa Barat, permukiman Toraja di Sulawesi Selatan, mereka menkonservasi permukimannya dari dalam, jadi para pemilik bangunan sudah punya tatanan sedemikian rupa untuk meminimalisir perubahan sekecil apapun. Dan ini selalu menyenangkan menjadi obyek wisata atau penelitian, visualnya yang kaya memanjakan mata pengunjung, memotretnya, mengabadikannya dalam video, atau menguplodnya di Socmed :3

namun di beberapa permukiman tradisional, tatanan ini bersifat longgar bahkan tidak ada, sehingga dalam satu permukiman bisa di temui 2 atau lebih hunian yang berubah lantaran dinamisnya pola berpikir penghuni. They wana change!. Sy jadi berpikir seperti apa perasaan mereka, mungkin pada titik tertentu mereka tidak mau di perlakukan layaknya barang pajangan di museum, atau menjadi tontonan pengunjung yang excited seolah mereka penghuni taman safari. yang dengan lugunya kita foto,kita rekam, lalu unggah didunia maya dan memperlihatkan betapa konservatifnya mereka, dan betapa 'unik'nya mereka.
rasa2nya kok terdengar kejam ya.

Mengakomodasi keinginan mereka juga bukan perkara mudah, pemberian insentif-disinsentif juga masih menimbulkan pertanyaan? apa itu adil? mereka juga ingin berubah dan menikmati perkembangan jaman, itu sama dengan orang tua yang maksain anaknya kuliah kedokteran sementara anaknya pengen kuliah di teknik.

wallahu alam
cuma celoteh galau saya tengah malam -_-

Tidak ada komentar:

Curcol dikit

Dulu sebelum kenal instagram , saya nulis statusnya di blog hehehe setelah dipikir-pikir emang nyaman sih nulis status di blog, apalagi u...